BERAPA JUMLAH RAKAAT SHALAT TARWIH??
Sebenarnya
dalam permalasalahan jumlah raka’at shalat tarawih tidak ada masalah sama
sekali. Tidak ada masalah dengan 23 raka’at atau 11 raka’at. Semoga kita bisa
semakin tercerahkan dengan tulisan berikut.
Shalat Tarawih
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
Dari Abu
Salamah bin ‘Abdirrahman, dia mengabarkan bahwa dia pernah bertanya pada
‘Aisyah radhiyallahu
‘anha, “Bagaimana shalat malam Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam di bulan
Ramadhan?”. ‘Aisyah mengatakan,
مَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَزِيدُ فِى رَمَضَانَ وَلاَ فِى غَيْرِهِ عَلَى إِحْدَى عَشْرَةَ رَكْعَةً
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat malam di bulan
Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11 raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim no. 738)
Dari Jabir bin
‘Abdillah radhiyallahu
‘anhu, beliau menuturkan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallampernah shalat bersama kami di bulan
Ramadhan sebanyak 8 raka’at lalu beliau berwitir. Pada malam berikutnya, kami
pun berkumpul di masjid sambil berharap beliau akan keluar. Kami terus
menantikan beliau di situ hingga datang waktu fajar. Kemudian kami menemui
beliau dan bertanya, “Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami menunggumu tadi
malam, dengan harapan engkau akan shalat bersama kami.” Beliaushallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “Sesungguhnya aku khawatir kalau akhirnya shalat tersebut menjadi
wajib bagimu.” (HR. Ath Thabrani, Ibnu Hibban dan Ibnu Khuzaimah. Syaikh Al Albani
mengatakan bahwa derajat hadits ini hasan. Lihat Shalat At Tarawih, hal. 21)
As Suyuthi
mengatakan, “Telah ada beberapa hadits shahih dan juga hasan mengenai perintah
untuk melaksanakan qiyamul lail di bulan Ramadhan dan ada pula dorongan untuk
melakukannya tanpa dibatasi dengan jumlah raka’at tertentu. Dan tidak ada
hadits shahih yang mengatakan bahwa jumlah raka’at tarawih yang dilakukan oleh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah 20 raka’at. Yang dilakukan oleh
beliau adalah beliau shalat beberapa malam namun tidak disebutkan batasan
jumlah raka’atnya. Kemudian beliau pada malam keempat tidak
melakukannya agar orang-orang tidak menyangka bahwa shalat tarawih adalah
wajib.”
Ibnu Hajar Al
Haitsamiy mengatakan, “Tidak ada satu hadits shahih pun yang menjelaskan bahwa
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan shalat tarawih 20 raka’at.
Adapun hadits yang mengatakan “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa
melaksanakan shalat (tarawih) 20 raka’at”, ini adalah hadits yang sangat-sangat
lemah.” (Al Mawsu’ah Al
Fiqhiyyah Al Quwaitiyyah, 2/9635)
Ibnu Hajar Al
Asqolani mengatakan, “Adapun yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dari
hadits Ibnu ‘Abbas bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat di bulan Ramadhan 20 raka’at ditambah witir, sanad hadits itu adalah dho’if. Hadits ‘Aisyah yang mengatakan bahwa shalat Nabi tidak lebih dari 11
raka’at juga bertentangan dengan hadits Ibnu Abi Syaibah ini. Padahal ‘Aisyah
sendiri lebih mengetahui seluk-beluk kehidupan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada waktu
malam daripada yang lainnya. Wallahu a’lam.” (Fathul Bari, 6/295)
Jumlah Raka’at Shalat
Tarawih yang Dianjurkan
Jumlah raka’at
shalat tarawih yang dianjurkan adalah tidak lebih dari 11 atau 13 raka’at.
Inilah yang dipilih oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana disebutkan dalam hadits-hadits yang telah lewat.
‘Aisyah
mengatakan, “Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah menambah jumlah raka’at dalam shalat
malam di bulan Ramadhan dan tidak pula dalam shalat lainnya lebih dari 11
raka’at.” (HR. Bukhari no. 1147 dan Muslim
no. 738)
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
كَانَ صَلاَةُ النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – ثَلاَثَ عَشْرَةَ رَكْعَةً . يَعْنِى بِاللَّيْلِ
“Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam di malam hari adalah 13 raka’at.” (HR. Bukhari
no. 1138 dan Muslim no. 764). Sebagian ulama mengatakan bahwa shalat malam yang
dilakukan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam adalah 11
raka’at. Adapun dua raka’at lainnya adalah dua raka’at ringan yang dikerjakan
oleh Nabishallallahu
‘alaihi wa sallam sebagai pembuka
melaksanakan shalat malam, sebagaimana hal ini dikatakan oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari (4/123, Asy Syamilah).
Bolehkah Menambah
Raka’at Shalat Tarawih Lebih dari 11 Raka’at?
Mayoritas ulama
terdahulu dan ulama belakangan, mengatakan bahwa boleh menambah raka’at
dari yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Ibnu ‘Abdil
Barr mengatakan, “Sesungguhnya shalat malam tidak memiliki batasan jumlah raka’at tertentu.
Shalat malam adalah shalat nafilah (yang dianjurkan), termasuk amalan dan
perbuatan baik. Siapa saja boleh mengerjakan sedikit raka’at. Siapa yang mau
juga boleh mengerjakan banyak.” (At Tamhid, 21/70)
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Yang membenarkan pendapat ini adalah dalil-dalil berikut.
Pertama, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
صَلاَةُ اللَّيْلِ مَثْنَى مَثْنَى فَإِذَا خِفْتَ الصُّبْحَ فَأَوْتِرْ بِوَاحِدَةٍ
“Shalat malam adalah dua raka’at dua
raka’at. Jika engkau khawatir masuk waktu shubuh, lakukanlah shalat witir satu
raka’at.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kedua, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
فَأَعِنِّى عَلَى نَفْسِكَ بِكَثْرَةِ السُّجُودِ
“Bantulah aku (untuk mewujudkan
cita-citamu) dengan memperbanyak sujud (shalat).” (HR. Muslim no. 489)
Ketiga, sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam,
فَإِنَّكَ لاَ تَسْجُدُ لِلَّهِ سَجْدَةً إِلاَّ رَفَعَكَ اللَّهُ بِهَا دَرَجَةً وَحَطَّ عَنْكَ بِهَا خَطِيئَةً
“Sesungguhnya engkau tidaklah
melakukan sekali sujud kepada Allah melainkan Allah akan meninggikan satu
derajat bagimu dan menghapus satu kesalahanmu.” (HR. Muslim no. 488)
Dari
dalil-dalil di atas menunjukkan beberapa hal:
Keempat, Pilihan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam yang memilih shalat tarawih dengan 11 atau 13
raka’at ini bukanlah pengkhususan dari tiga dalil di atas.
Alasan pertama, perbuatan
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam tidaklah
mengkhususkan ucapan beliau sendiri, sebagaimana hal ini telah diketahui dalam
ilmu ushul.
Alasan kedua, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam tidaklah
melarang menambah lebih dari 11 raka’at. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Shalat malam di bulan Ramadhan tidaklah dibatasi oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam dengan bilangan
tertentu. Yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah beliau tidak menambah di bulan Ramadhan atau bulan lainnya lebih
dari 13 raka’at, akan tetapi shalat tersebut dilakukan dengan raka’at yang
panjang. … Barangsiapa yang mengira bahwa shalat malam di bulan Ramadhan
memiliki bilangan raka’at tertentu yang ditetapkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, tidak boleh ditambahi atau
dikurangi dari jumlah raka’at yang beliau lakukan, sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Alasan ketiga, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memerintahkan para sahabat untuk melaksanakan shalat malam dengan 11 raka’at. Seandainya hal ini diperintahkan tentu saja beliau akan memerintahkan sahabat untuk melaksanakan shalat 11 raka’at, namun tidak ada satu orang pun yang mengatakan demikian. Oleh karena itu, tidaklah tepat mengkhususkan dalil yang bersifat umum yang telah disebutkan di atas. Dalam ushul telah diketahui bahwa dalil yang bersifat umum tidaklah dikhususkan dengan dalil yang bersifat khusus kecuali jika ada pertentangan.
Kelima, Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam biasa melakukan
shalat malam dengan bacaan yang panjang dalam setiap raka’at. Di zaman setelah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam, orang-orang begitu berat jika melakukan
satu raka’at begitu lama. Akhirnya, ‘Umar memiliki inisiatif agar shalat
tarawih dikerjakan dua puluh raka’at agar bisa lebih lama menghidupkan malam
Ramadhan, namun dengan bacaan yang ringan. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
mengatakan, “Tatkala ‘Umar mengumpulkan manusia dan Ubay bin Ka’ab sebagai
imam, dia melakukan shalat sebanyak 20 raka’at kemudian melaksanakan witir
sebanyak tiga raka’at. Namun ketika itu bacaan setiap raka’at lebih ringan
dengan diganti raka’at yang ditambah. Karena melakukan semacam ini lebih ringan
bagi makmum daripada melakukan satu raka’at dengan bacaan yang begitu panjang.”
(Majmu’ Al
Fatawa, 22/272)
Keenam, telah
terdapat dalil yang shahih bahwa ‘Umar bin Al Khottob pernah mengumpulkan
manusia untuk melaksanakan shalat tarawih, Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daari
ditunjuk sebagai imam. Ketika itu mereka melakukan shalat tarawih sebanyak 21
raka’at. Mereka membaca dalam shalat tersebut ratusan ayat dan shalatnya
berakhir ketika mendekati waktu shubuh. (Diriwayatkan oleh ‘Abdur Razaq no.
7730, Ibnul Ja’di no. 2926, Al Baihaqi 2/496. Sanad hadits ini shahih. Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/416)
Begitu juga
terdapat dalil yang menunjukkan bahwa mereka melakukan shalat tarawih sebanyak
11 raka’at. Dari As Saa-ib bin Yazid, beliau mengatakan bahwa ‘Umar bin Al
Khottob memerintah Ubay bin Ka’ab dan Tamim Ad Daariy untuk melaksanakan shalat
tarawih sebanyak 11 raka’at. As Saa-ib mengatakan, “Imam membaca ratusan ayat,
sampai-sampai kami bersandar pada tongkat karena saking lamanya. Kami selesai
hampir shubuh.” (HR. Malik dalam Al Muqatho’, 1/137, no. 248. Sanadnya shahih. Lihat Shahih
Fiqih Sunnah1/418)
Berbagai Pendapat
Mengenai Jumlah Raka’at Shalat Tarawih
Jadi, shalat
tarawih 11 atau 13 raka’at yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam bukanlah
pembatasan. Sehingga para ulama dalam pembatasan jumlah raka’at shalat tarawih
ada beberapa pendapat.
Pendapat pertama, yang membatasi hanya sebelas raka’at. Alasannya karena inilah yang
dilakukan oleh Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam. Inilah
pendapat Syaikh Al Albani dalam kitab beliau Shalatut Tarawaih.
Pendapat kedua, shalat tarawih adalah 20 raka’at (belum termasuk witir). Inilah pendapat
mayoritas ulama semacam Ats Tsauri, Al Mubarok, Asy Syafi’i, Ash-haabur Ro’yi,
juga diriwayatkan dari ‘Umar, ‘Ali dan sahabat lainnya. Bahkan pendapat ini
adalah kesepakatan (ijma’) para sahabat.
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Al Kasaani mengatakan, “’Umar mengumpulkan para sahabat untuk melaksanakan qiyam Ramadhan lalu diimami oleh Ubay bin Ka’ab radhiyallahu Ta’ala ‘anhu. Lalu shalat tersebut dilaksanakan 20 raka’at. Tidak ada seorang pun yang mengingkarinya sehingga pendapat ini menjadi ijma’ atau kesepakatan para sahabat.”
Ad Dasuuqiy dan lainnya mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang menjadi amalan para sahabat dan tabi’in.”
Ibnu ‘Abidin mengatakan, “Shalat tarawih dengan 20 raka’at inilah yang dilakukan di timur dan barat.”
‘Ali As Sanhuriy mengatakan, “Jumlah 20 raka’at inilah yang menjadi amalan manusia dan terus menerus dilakukan hingga sekarang ini di berbagai negeri.”
Al Hanabilah mengatakan, “Shalat tarawih 20 raka’at inilah yang dilakukan dan dihadiri banyak sahabat. Sehingga hal ini menjadi ijma’ atau kesepakatan sahabat. Dalil yang menunjukkan hal ini amatlah banyak.” (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah Al Kuwaitiyyah, 2/9636)
Pendapat ketiga, shalat tarawih adalah 39 raka’at dan sudah termasuk witir. Inilah
pendapat Imam Malik. Beliau memiliki dalil dari riwayat Daud bin Qois,
dikeluarkan oleh Ibnu Abi Syaibah dan riwayatnya shahih. (Lihat Shahih Fiqh Sunnah, 1/419)
Pendapat keempat, shalat tarawih adalah 40 raka’at dan belum termasuk witir. Sebagaimana
hal ini dilakukan oleh ‘Abdurrahman bin Al Aswad shalat malam sebanyak 40
raka’at dan beliau witir 7 raka’at. Bahkan Imam Ahmad bin Hambal melaksanakan
shalat malam di bulan Ramadhan tanpa batasan bilangan sebagaimana dikatakan
oleh ‘Abdullah. (Lihat Kasyaful Qona’ ‘an Matnil Iqna’, 3/267)
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Kesimpulan dari pendapat-pendapat yang ada adalah sebagaimana dikatakan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah,
“Semua jumlah raka’at di atas boleh dilakukan. Melaksanakan shalat malam di bulan Ramadhan dengan berbagai macam cara tadi itu sangat bagus. Dan memang lebih utama adalah melaksanakan shalat malam sesuai dengan kondisi para jama’ah. Kalau jama’ah kemungkinan senang dengan raka’at-raka’at yang panjang, maka lebih bagus melakukan shalat malam dengan 10 raka’at ditambah dengan witir 3 raka’at, sebagaimana hal ini dipraktekkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri di bulan Ramdhan dan bulan lainnya. Dalam kondisi seperti itu, demikianlah yang terbaik.
Namun apabila para jama’ah tidak mampu melaksanakan raka’at-raka’at yang panjang, maka melaksanakan shalat malam dengan 20 raka’at itulah yang lebih utama. Seperti inilah yang banyak dipraktekkan oleh banyak ulama. Shalat malam dengan 20 raka’at adalah jalan pertengahan antara jumlah raka’at shalat malam yang sepuluh dan yang empat puluh. Kalaupun seseorang melaksanakan shalat malam dengan 40 raka’at atau lebih, itu juga diperbolehkan dan tidak dikatakan makruh sedikitpun. Bahkan para ulama juga telah menegaskan dibolehkannya hal ini semisal Imam Ahmad dan ulama lainnya.
Oleh karena itu, barangsiapa yang menyangka bahwa shalat malam di bulan Ramadhan memiliki batasan bilangan tertentu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sehingga tidak boleh lebih atau kurang dari 11 raka’at, maka sungguh dia telah keliru.” (Majmu’ Al Fatawa, 22/272)
Dari penjelasan di atas kami katakan, hendaknya setiap muslim bersikap arif dan bijak dalam menyikapi permasalahan ini. Sungguh tidak tepatlah kelakuan sebagian saudara kami yang berpisah dari jama’ah shalat tarawih setelah melaksanakan shalat 8 atau 10 raka’at karena mungkin dia tidak mau mengikuti imam yang melaksanakan shalat 23 raka’at atau dia sendiri ingin melaksanakan shalat 23 raka’at di rumah.
Orang yang keluar dari jama’ah sebelum imam menutup shalatnya dengan witir juga telah meninggalkan pahala yang sangat besar. Karena jama’ah yang mengerjakan shalat bersama imam hingga imam selesai –baik imam melaksanakan 11 atau 23 raka’at- akan memperoleh pahala shalat seperti shalat semalam penuh. “Siapa yang shalat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyam satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi. Syaikh Al Albani dalam Al Irwa’ 447 mengatakan bahwa hadits ini shahih). Semoga Allah memafkan kami dan juga mereka.
Yang Paling Bagus adalah
Yang Panjang Bacaannya
Setelah
penjelasan di atas, tidak ada masalah untuk mengerjakan shalat 11 atau 23
raka’at. Namun yang terbaik adalah yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa
sallam, namun berdirinya agak lama. Dan
boleh juga melakukan shalat tarawih dengan 23 raka’at dengan berdiri yang lebih
ringan sebagaimana banyak dipilih oleh mayoritas ulama.
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَفْضَلُ الصَّلاَةِ طُولُ الْقُنُوتِ
“Sebaik-baik shalat adalah yang lama
berdirinya.” (HR. Muslim no. 756)
Dari Abu
Hurairah, beliau berkata,
عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُصَلِّىَ الرَّجُلُ مُخْتَصِرًا
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang seseorang
shalat mukhtashiron.” (HR. Bukhari
dan Muslim).
Ibnu Hajar
–rahimahullah- membawakan hadits di atas dalam kitab beliau Bulughul
Marom, Bab “Dorongan agar
khusu’ dalam shalat.” Sebagian
ulama menafsirkan ikhtishor (mukhtashiron) dalam hadits di atas adalah shalat
yang ringkas (terburu-buru), tidak ada thuma’ninah ketika membaca surat,
ruku’ dan sujud. (Lihat Syarh Bulughul Marom, Syaikh
‘Athiyah Muhammad Salim, 49/3, Asy Syamilah)
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
Oleh karena itu, tidak tepat jika shalat 23 raka’at dilakukan dengan kebut-kebutan, bacaan Al Fatihah pun kadang dibaca dengan satu nafas. Bahkan kadang pula shalat 23 raka’at yang dilakukan lebih cepat selesai dari yang 11 raka’at. Ini sungguh suatu kekeliruan. Seharusnya shalat tarawih dilakukan dengan penuh khusyu’ dan thuma’ninah, bukan dengan kebut-kebutan. Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.
No comments:
Post a Comment